Inaaf.my.id |
Setelah tagar #KaburSajaDulu, kini ada tagar baru
yang sedang rame berseliweran di jagad maya tanah air. Yakni #IndonesiaGelap.
Sebuah slogan yang hendak menunjukkan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik
saja.
Tagar #IndonesiaGelap sebenarnya
punya korelasi kuat dengan tagar #kaburajadulu yang mengajak kaum muda untuk
pergi ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik sebab keadaan di
Indonesia dinilai sedang tidak baik-baik saja atau Indonesia (sedang) Gelap,
dalam bahasa sosial media warganet Indonesia.
Dua tagar ini oleh para pengamat
dianggap sebagai bentuk kritikan dari kaum muda Indonesia terhadap kebijakan
penyelenggara negara saat ini.
Dalam pandangan kaum muda yang
mengumandangkan tagar tersebut, hidup di Indonesia kini dinilai semakin sulit.
Mulai dari kian susahnya mencari pekerjaan akibat berbagai syarat yang
memberatkan dan dinilai absurd seperti syarat tinggi badan, penampilan menarik,
mampu kerja di bawah tekanan dsj.
Itupun masih ditambah dengan
tidak adanya transparansi gaji dan tunjangan serta sistem kontrak pendek. Belum
lagi kebijakan penguasa yang gemar menaikkan pajak bagi rakyat.
Tentu ini dianggap kian
mempersulit kehidupan masyarakat. Lalu juga mengenai layanan pendidikan,
kesehatan dan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) yang juga masih
dikeluhkan karena tidak seluruhnya bisa dinikmati oleh masyarakat secara mudah.
Nah, berbagai kesemrawutan sosial
dan ekonomi inilah yang akhirnya disimpulkan sebagai fase “Indonesia Gelap”
sehingga beberapa kalangan menyerukan untuk hijrah ke luar negeri lewat
ajakan #kaburajadulu.
Bahkan saat tulisan ini disusun,
beberapa daerah terutama Jakarta dilanda demo besar-besaran yang dilakukan oleh
kalangan mahasiswa dan beberapa elemen rakyat yang menolak kebijakan
pemangkasan anggaran oleh pemerintah.
Di Wamena, Papua, para
pelajar juga berdemonstrasi menolak program makan siang bergizi gratis dari
Pemerintah pusat dan lebih memilih program pendidikan gratis.
“Indonesia Gelap” kian
terejawantahkan dengan mencuatnya berbagai kasus ketidak-adilan sosial yang
selama ini bagaikan fenomena gunung es yang perlahan mulai mencair ke
permukaan. Ada kasus ketimpangan keadilan hukum seperti kasus Harvey Moeis cs.
Ada kasus semrawutnya distribusi
tabung elpiji bersubsidi untuk masyarakat bawah, yang mirisnya ketika ada
masyarakat yang mati usai kelelahan saat antri di pangkalan elpiji, Menteri
terkait hanya bilang maaf, seolah harga nyawa tak lebih dari harga tabung
elpiji melon 3 kilogram. Dan tentu yang juga makin membuat “Indonesia
Gelap” adalah terkuaknya kasus pencaplokan laut oleh para cukong yang
melibatkan pejabat kementerian terkait. Kasus pemagaran laut di beberapa
wilayah Indonesia terutama di Banten tersebut membuat rakyat bertanya-tanya,
bagaimana bisa laut dapat dikeluarkan sertifikat kepemilikannya.
Sumber Kegelapan Indonesia
Mengapa Indonesia semakin
‘gelap’? Tentu banyak faktor yang bisa dituliskan, apalagi jika hanya dilihat
dari kacamata ilmu akademik duniawi semata. Namun dalam worldview Islam,
kerusakan sebuah negara yang salah satunya bercirikan banyaknya
kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyat adalah berasal dari rusaknya para
ulama di negara tersebut.
Setidaknya inilah penjelasan Imam
Ghazali Rahimahullah di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin yang
berbunyi,
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك
وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
“Tidaklah terjadi kerusakan
terhadap rakyat kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para
penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”
Kemudian masih di kitab Ihya’
Ulumiddin disebutkan juga,
ففساد الرعايا بفساد الملوك
وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه
حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان
على كل حال
“Maka kerusakan rakyat itu karena
kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan
rusaknya para ulama itu karena kecintaan mereka pada harta dan kedudukan.
Barangsiapa yang terperdaya akan kecintaan terhadap dunia maka tidak akan mampu
mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa
dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”
Kecondongan ulama pada dunia
adalah bencana besar bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi umat
di negeri tersebut.
Karena jika ulama yang notabene
merupakan pewaris para Nabi (HR. Tirmidzi dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu)
sudah cinta dunia dan kedudukan (Hubbud Dunya wal Jah) maka dia dianggap
sudah mengkhianati Rasulullah ﷺ.
Sebab sebagaimana dikutip oleh
Imam Ghazali Rahimahullah dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda,
العلماءُ أمناءُ الرسلِ على عباد الله
ما لم يُخالِطُوا السلطان، ويَدْخُلُوا في الدنيا، فإذا خَالطوا ودخلوا في الدنيا فقد
خَانُوا الرسلَ، فاعتزلوهم واحذروهم.
“Para ulama
adalah pemegang amanah Rasul terhadap hamba-hamba Allah selagi mereka tidak
bergaul dengan penguasa dan mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. Apabila
mereka bergaul dengan penguasa dan masuk ke dalam (urusan) dunia, mereka akan
mengkhianati para Rasul. Oleh karena itu, jauhilah mereka dan waspadalah
terhadap mereka.”(HR. Ad Dailami). (Ihya’ Ulumuddin Juz
1 halaman 252, Cet. Darul Minhaj)
Seperti diketahui
bersama, kasus sertifikasi HGB dan pemagaran laut di desa Kohod
Tangerang, Banten, oleh Korporasi besar dengan bantuan oknum penguasa ditolak
oleh hampir mayoritas masyarakat negeri ini, terutama para nelayan dan warga
desa setempat.
Namun mirisnya ada oknum Ulama
yang justru mendukung pencaplokan laut oleh pihak konglomerasi tersebut dengan
dalih mereka telah menghidupkan tanah yang mati dan proyek nasional tersebut
dianggap akan membawa manfaat bagi masyarakat sekitar.
Pernyataan mantan petinggi ormas
Islam tersebut tentu ditentang oleh mayoritas masyarakat Banten yang merasa
tanah mereka selama ini telah dirampas. Bahkan Ulama karismatik dari Kasepuhan
Banten sekaligus ketua AHWA (Ahlul hal wal Aqdi), KH. TB Fathul Adzim juga
turut menolaknya.
Bersama Sultan Banten, Ratu Bagus
Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, MBA, keduanya menolak keras PSN PIK-2
tersebut dengan slogan ‘Banten bukan Singapore, tidak akan pernah menjadi
Singapore’.
Masyarakat tentu bertanya-tanya
bagaimana bisa oknum Ulama aspirasinya berseberangan dengan rakyat dan malah
mendukung taipan? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Namun jika diraba dengan berbagai
penelusuran jejak digital yang ada, bisa jadi karena oknum tersebut punya
hutang jasa kepada mereka. Sebab oknum tersebut pernah menduduki jabatan
strategis (Komisaris Utama) di perusahaan salah satu konglomerat besar negeri
ini dan beberapa jabatan tinggi di perusahaan besar swasta dan BUMN yang
uniknya posisi strategis itu tidak selaras dengan latar pendidikan sang tokoh.
Jadi wajar belaka jika ada rasa
‘sungkan’ bila tidak bisa membela kepentingan mereka meskipun harus
bertentangan dengan kehendak rakyat.
Padahal Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2025 telah menetapkan bahwa kepemilikan
laut atas nama individu ataupun korporasi hukumnya haram.
Ini artinya tidak temua ulama
bisa dibeli dan dipesan fatwanya. Buktinya NU, Muhammadiyah dan MUI kompak
menyatakan fatwa yang sama. Yakni tegas menolak pemagaran laut untuk proyek
nasional PIK 2 tersebut.
Ini semakin memperkuat pernyataan
Imam Ghazali yang menyatakan bahwa ulama itu terdiri dari dua jenis yaitu ulama
lurus) dan ulama su’ (ulama jahat). Ulama su’ inilah
yang sering mencari dunia dengan menjual agama.
Dan ulama su’ inilah
yang lebih ditakutkan oleh Rasulullah ﷺ atas umatnya melebihi dajjal.
Peran Ulama
Salah satu ciri khas ulama su’ adalah
gemar berkumpul dengan penguasa namun bukan untuk beramar makruf nahi munkar
terhadap mereka melainkan mencari kedudukan.
Maimun bin Mihran Rahimahullah
berkata,
صحبة السلطان خطر عظيم ، فإنك إن أطعته
خاطرت بدينك، وإن عصيته خاطرت بنفسك, فالسلامة أن لا تعرفه ولا يعرفك
“Bersahabat dengan penguasa
adalah ke-bahaya-an yang besar. Jika kamu menaatinya, kamu mempertaruhkan
agamamu, dan jika kamu tidak menaatinya, kamu mempertaruhkan keselamatan dirimu
sendiri. Maka (yang dimaksud) keselamatan adalah (ketika) kamu tidak mengenalnya
dan dia tidak mengenalmu.”
Bahkan diriwayatkan bahwa Imam
Malik bin Dinar Rahimahullah pernah berkirim surat kepada Imam Zuhri ketika ia
dinilai oleh Malik bin Dinar mulai gemar nimbrung dengan penguasa.
Imam Malik berkata; “Semoga Allah
melindungi kita wahai saudaraku daripada jatuhnya kamu ke dalam berbagai fitnah
setelah dirimu yang seorang Alim besar dan sepuh (malah) menutup usiamu dengan
membersamai penguasa. Dan engkau membuat dalil-dalil pembelaan kepada mereka
ketika ada seseorang yang menolak (kedzaliman) mereka. Walaupun mungkin
kedekatanmu terhadap mereka (penguasa) hanyalah untuk menentramkan hati
mereka…, maka hal itu cukup bagimu termasuk daripada dosa.”
Kemudian Imam Malik bin Dinar
mendiamkan (memboikot) Imam Zuhri hingga beliau meninggal dunia. (Tanbihul
Mughtarin Lil Imam Sya’roni, hal 281, cet. Darul Kutub Islamiyah Jakarta).
Lihat bagaimana sindiran Imam
Malik bin Dinar terhadap Ulama yang gemar membuat dalil-dalil pembelaan kepada
penguasa ketika ada masyarakat yang melawan kedholiman mereka. Dan fenomena
ulama “tukang stempel” penguasa itu nyatanya terus ada sampai saat ini. Padahal
Imam Ghazali telah mewanti-wanti para Ulama agar berhati-hati terhadap
kekuasaan. Beliau mengatakan,
فمخالطتهم مفتاح لشرور، وعلماء الآخرة
طريقهم الاحتياط
“Maka bergaul (bercampur) dengan
mereka (Penguasa) adalah kunci kepada keburukan-keburukan. Dan Thariqah (jalan)
Ulama Akhirat adalah kehati-hatian terhadap agama mereka.”(Ihya’ Ulumuddin Juz
I; Hal. 251; Cet. Darul Minhaj)
Ulama sejati adalah mereka yang
berhati-hati terhadap dunia. Mereka tidak mau mendekat kepada penguasa kecuali
jika untuk Amar Makruf Nahi Mungkar kepada mereka. Ulama bertugas “ngemong”
umat dan menjaga hukum-hukum agama Allah. Mereka juga harus berada di garda
terdepan dalam meluruskan kebengkokan penguasa bukan malah menjadi pembisik
istana demi cuan bagi diri dan kelompoknya.
Ulama adalah pelita bagi manusia
di zamannya. Disebutkan di dalam kitab Al Ibanatul Kubro Li Ibni Batoh,
حدثنا أبو الحسين محمد بن أحمد بن أبي
سهل الحربي ، قال : ثنا أبو العباس أحمد بن محمد بن مسروق الطوسي ، قال : ثنا محمد
بن الحسين ، قال : ثنا عبيد الله بن محمد ، قال : ثنا سلمة بن سعيد ، قال : كان يقال
العلماء سرج الأزمنة فكل عالم مصباح زمانه فيه يستضيء أهل عصره
“Dikatakan bahwa Ulama adalah
pelita zaman. Maka setiap ‘alim (ulama) adalah lampu (penerang) zamannya yang
padanya para manusia di zaman tersebut mendapatkan pencerahan (dari
kegelapan).” (Ibnu Batoh Ubaidillah bin Muhammad bin Batoh Al Akbari Al Hanbali; Al
Ibanatul Kubro Li Ibni Batoh Juz 2 Hal 204) .
Jika benar hari ini Indonesia
(sedang) gelap maka seharusnya ulama (sesuai tupoksinya) menjadi pelita bagi
rakyat untuk memberi pencerahan kepada mereka.
Ulama harus membersamai
rakyat yang sedang kesusahan sembari memberi siraman petuah ilahi agar
menguatkan kesabaran menghadapi keadaan Indonesia saat ini.
Dan di sisi yang lain ulama harus
berani “menjewer” penguasa agar lekas merevisi kebijakan-kebijakan yang
menyusahkan rakyat.
Jika ulama baik maka baik pula
penguasa di sebuah negeri. Dan jika penguasa suatu negeri sudah baik dalam
bimbingan Ulama maka rakyat di negeri tersebut akan menjadi masyarakat yang
baik, tentram dan aman. Idealnya seperti itu. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Penulis seorang
santri, tinggal di Bangil, Jawa Timur
sumber : https://hidayatullah.com/artikel/2025/02/21/290223/ulama-dan-pentingnya-mencerahkan-indonesia-yang-gelap.html
0 komentar:
Posting Komentar